Saturday, August 20, 2011

Cerita “Joen” di sebuah masjid


Beberapa hari yang lalu saya mampir di sebuah masjid. Setelah sibuk seharian dan berbuka puasa di rumah salah satu client saya menyempatkan diri untuk berjamaah di masjid terdekat. Semula agak bingung saya mencari tempat untuk berwudlu. Namun setelah melihat seseorang muncul dari samping masjid, barulah saya tahu tempat berwudlu dari masjid tersebut
            Tempatnya tidak luas namun cukup bersih. Sejurus dengan saya ada sebuah kamar mandi. Dari suara gemericiknya saya yakin ada orang di dalamnya.
            Tidak jauh dari tempat saya berdiri ada seorang bapak sedang khusyu’ mengambil air wudlu. Ketika sedang asyik memperhatikan ke khusyu’an sang bapak, pintu kamar mandi tadi terbuka dan ada seorang ibu-ibu yang rupanya habis buang hajat. Dengan sedikit tergesa-gesa sang ibu menuju keluar tempat wudlu sambil berkata “pak…maaf ya pak…sebentar saya keluar. Dan secara tidak sengaja tangan sang ibu menyentuh sang bapak tadi.
            Dengan sedikit geram sang bapak berkata “sabar bu…hati-hati..kesenggol nih..jadi batal” dengan nada yang agak tinggi.
            Dengan perasaan ambigu dan senyum sayapun melanjutkan berwudlu.
            Di dalam masji kembali saya di suguhkan oleh sebuah kejadian yang membuat dahi saya agak berkerut juga. Di barisan ke-3 (saya berada di baris ke empat), saat akan melakukan sholat, seorang bapak dari barisan belakang menarik dua orang anak yang berada di barisan 3 sambil berkata anak-anak di belakang…anak-anak di belakang.

Paradigma salah

            Kejadian diatas mungkin di sebagian netter ada yang menganggap wajar, penuh tanda tanya atau sekedar abstain. Namun bagi saya itu sesuatu yang agak sedikit menjadi pemikiran saya.
            Kejadian antara sang bapak dan sang ibu menjadi tanda tanya bagi saya. Kenapa sang bapak begitu marah? Apakah memang batal? Kalau menyentuh wanita memang batal wudlu, lantas bagaimana di jazirah arab? Yang apabila kita perhatikan begitu banyak jumlah jemaah haji di sana dan bercampur antara wanita dan pria? Sudah pasti mereka secara tidak langsung tertabrak dan bersentuhan. Kalau toh memang batal, kenapa harus dengan nada tinggi atau marah? Bukankah di negeri ini mudah untuk berwudlu, sehingga apabila kita batal maka dengan mudah kita dapat berwudlu kembali. (Gitu aja kok repot. Pen)

           
            Kejadian keduapun demikian. Kenapa anak kecil harus selalu di belakang? Kalau toh memang anak kecil sering membuat ribut di masjid yang nantinya akan mengganggu jemaah yang lain, bukankah dengan menempatkan mereka secara berkelompok di belakang akan memperbesar kemungkinan mereka akan gaduh, bercanda dan makin ribut?
            Inilah paradigma yang salah. Terlalu sering memikirkan ke khusyu’an sendiri sehingga lupa dengan yang lain yang justru malah menambah jadi tidak khusyu’.
            Maka jangan heran jika pemuda jaman sekarang susah dan kurang senang di masjid karena mereka tidak memiliki kenangan yang baik di masjid. Anak-anak sering di kesampingkan dan orang tua yang di utamakan. Sementara itu kita tahu bahwasanya anak-anak adalah kader. Yang harus di beri arahan dan di bimbing dengan baik

Solusi
            Hendaknya dua kejadian diatas tidak harus terjadi, jika saja kita memiliki pandangan yang luas. Pandangan yang luas diperoleh dari belajar, belajar dan belajar.
Umur tidak menghalangi manusia untuk belajar. Bukankah menjadi kewajiban setiap muslim untuk belajar hingga akhir hayat?
            Alangkah baiknya jika kita memandang (mempunyai pemikiran)
-          Ah..mungkin saja si Ibu punya paham kalau bersentuhan itu tidak batal wudlu, sehingga kita harus memahaminya
-          Ah…mungkin saja ibu itu terburu-buru, kalau begitu kita juga harus memahaminya dan memakluminya.
-          Ah…mungkin saja ibu itu tidak sengaja, tetap kita harus memahami dan memakluminya.

Sehingga akan terlihat indah di pandang mata dan tidak mudah terpancing emosi.

Alangkah baiknya jika kita
-          mempersilahkan yang muda untuk maju di depan jika memang ingin berada di shaf depan, namun dengan catatan :
o       Harus di dampingi orang yang dewasa bisa bapak atau saudaranya, dengan demikian sang anak tidak akan mudah untuk terpancing bersenda gurau.
o       Jangan anak-anak berkumpul dalam satu barisan. Kalau bisa di selang-seling. Untuk meminimalisir keinginan mereka bersenda gurau
o       Setelah sholat kumpulkan anak-anak buat lingkaran kecil atau semacam alaqoh dan ajarkan tata cara sholat yang baik.
-          Insya Allah sang anak akan mengerti tentang tata cara sholat berjamaah yang baik.
                       

0 komentar:

Post a Comment